Jakarta - Penjualan BBM non subsidi, Pertamax masih normal-normal saja meski mengalami kenaikan yang cukup signifikan hingga menembus Rp 9.000 per liter sejak awal bulan Mei.
"Masih tetap saja (normal). Biasa-biasa saja (penjualan)," ujar VP Corporate Communication Pertamina, Mochammad Harun ketika dihubungi detikFinance, Jakarta (12/5/2011).
Ia menilai, masyarakat sudah terbiasa dengan mekanisme pasar yang mempengaruhi produk BBM beroktan 92 tersebut. Sehingga produk Pertamax memiliki kalangan konsumen yang terbiasa membelinya.
"Pertamax kan memang elastis untuk market-nya dan kalangannya (konsumen) kan sudah tertentu. Sehingga mau tidak mau mereka memerlukan itu," ungkapnya.
Mengenai penilaian masyarakat soal harga pertamax yang mahal, Harun menyatakan hal tersebut adalah wajar. Kesemuanya itu dikembalikan kepada kesadaran masyarakat yang menurunya sudah semakin membaik.
Seperti diketahui, semenjak naiknya harga Pertamax menjadi Rp 9050/liter membuat selisih harga antara Pertamax dan Premium menjadi dua kali lipat. Hal ini menimbulkan banyak pandangan, dimana kemungkinan peralihan dari Pertamax ke Premium semakin besar.
Beberapa pengamat menilai naiknya harga Pertamax tersebut adalah wajar, karena mekanisme harga Pertamax sendiri terkontrol oleh naik-turunnya harga minyak dunia. Namun, supaya tidak ada peralihan konsumsi, perlu dilakukan koreksi harga terhadap Premium (dinaikkan) guna mereduksi adanya potensi peralihan dari Pertamax ke Premium.
Hal tersebut mengingat, semenjak periode Januari hinngga April 2011 Konsumsi BBM Bersubsidi jenis Premium sudah mendekati 8 juta kiloliter, yakni tepatnya 7.884.000 KL. Angka tersebut lebih tinggi 3,6% dari kuota selama 4 bulan pertama di 2011.
Adi Subagyo, selaku Anggota Komite Badan Pengatur Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) menjelaskan kenaikan volume Premium ini antara lain diakibatkan karena kenaikan harga Pertamax yang cukup tinggi yakni sekarang saja sudah menyentuh Rp 9050/liter. Maka itu, sangat jelas jika banyak masyarakat yang tadinya menggunakan Pertamax akan segera beralih ke BBM jenis premium yang harganya hanya Rp 4500/liter.
"Masih tetap saja (normal). Biasa-biasa saja (penjualan)," ujar VP Corporate Communication Pertamina, Mochammad Harun ketika dihubungi detikFinance, Jakarta (12/5/2011).
Ia menilai, masyarakat sudah terbiasa dengan mekanisme pasar yang mempengaruhi produk BBM beroktan 92 tersebut. Sehingga produk Pertamax memiliki kalangan konsumen yang terbiasa membelinya.
"Pertamax kan memang elastis untuk market-nya dan kalangannya (konsumen) kan sudah tertentu. Sehingga mau tidak mau mereka memerlukan itu," ungkapnya.
Mengenai penilaian masyarakat soal harga pertamax yang mahal, Harun menyatakan hal tersebut adalah wajar. Kesemuanya itu dikembalikan kepada kesadaran masyarakat yang menurunya sudah semakin membaik.
Seperti diketahui, semenjak naiknya harga Pertamax menjadi Rp 9050/liter membuat selisih harga antara Pertamax dan Premium menjadi dua kali lipat. Hal ini menimbulkan banyak pandangan, dimana kemungkinan peralihan dari Pertamax ke Premium semakin besar.
Beberapa pengamat menilai naiknya harga Pertamax tersebut adalah wajar, karena mekanisme harga Pertamax sendiri terkontrol oleh naik-turunnya harga minyak dunia. Namun, supaya tidak ada peralihan konsumsi, perlu dilakukan koreksi harga terhadap Premium (dinaikkan) guna mereduksi adanya potensi peralihan dari Pertamax ke Premium.
Hal tersebut mengingat, semenjak periode Januari hinngga April 2011 Konsumsi BBM Bersubsidi jenis Premium sudah mendekati 8 juta kiloliter, yakni tepatnya 7.884.000 KL. Angka tersebut lebih tinggi 3,6% dari kuota selama 4 bulan pertama di 2011.
Adi Subagyo, selaku Anggota Komite Badan Pengatur Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) menjelaskan kenaikan volume Premium ini antara lain diakibatkan karena kenaikan harga Pertamax yang cukup tinggi yakni sekarang saja sudah menyentuh Rp 9050/liter. Maka itu, sangat jelas jika banyak masyarakat yang tadinya menggunakan Pertamax akan segera beralih ke BBM jenis premium yang harganya hanya Rp 4500/liter.
sumber :detik.com

0 comments:
Post a Comment